Diluar pelajaran tentang kerasnya perjuangan hidup yang dialami Iqbal Assegafdimasa-masa kanak-kanaknya itu, orang yang justru
berpengaruh pada pembentukan watak dan kepribadian Iqbal di kemudian hari adalah ayahnya sendiri. Ayahnyalah, Habib Husein Ahmad Assegaf, yang menanamkan pemahaman tentang nilai-nilai filosofis kehidupan kepadanya.Hal ini bisa dimaklumi karena, menurut Rahma, sekalipun Iqbal Assegaf sejak SD kecil tinggal di Ternate, namun setiap kali liburan sekolah tiba, dia tetap menyempatkan diri pulang ke Bajo bertemu ayahnya. Selama pertemuan di masa liburan itulah ayahnya selalu bercerita sejarah kebesaran Islam dan keduanya kemudian menghabiskan waktu dengan berdiskusi tentang persoalan tersebut. Terkadang ayahnya menceritakan sejarah itusambil mengajaknya memancing ikan dilaut. Bahkan ketika kemudian Iqbal sudah sudah duduk dibangku SMA dan Ia menyadari potensi yang dimiliki anaknya itu, dia pun mulai menceritakan tentang kandungan-kandungan filsafat karya beberapa filosof terkemuka, diantaranya pemikir Muhammad Iqbal. Bahkan, selain hal-hal bersifat rasional tadi, ayahnya juga mengajarkan masalah-masalah yang menyangkut tarekat. Iqbal sendiri, dikemudian hari, mengaku sangat bangga pada ayahnya tersebut.
berpengaruh pada pembentukan watak dan kepribadian Iqbal di kemudian hari adalah ayahnya sendiri. Ayahnyalah, Habib Husein Ahmad Assegaf, yang menanamkan pemahaman tentang nilai-nilai filosofis kehidupan kepadanya.Hal ini bisa dimaklumi karena, menurut Rahma, sekalipun Iqbal Assegaf sejak SD kecil tinggal di Ternate, namun setiap kali liburan sekolah tiba, dia tetap menyempatkan diri pulang ke Bajo bertemu ayahnya. Selama pertemuan di masa liburan itulah ayahnya selalu bercerita sejarah kebesaran Islam dan keduanya kemudian menghabiskan waktu dengan berdiskusi tentang persoalan tersebut. Terkadang ayahnya menceritakan sejarah itusambil mengajaknya memancing ikan dilaut. Bahkan ketika kemudian Iqbal sudah sudah duduk dibangku SMA dan Ia menyadari potensi yang dimiliki anaknya itu, dia pun mulai menceritakan tentang kandungan-kandungan filsafat karya beberapa filosof terkemuka, diantaranya pemikir Muhammad Iqbal. Bahkan, selain hal-hal bersifat rasional tadi, ayahnya juga mengajarkan masalah-masalah yang menyangkut tarekat. Iqbal sendiri, dikemudian hari, mengaku sangat bangga pada ayahnya tersebut.
Bagaimana besarnya pengaruh pendidikan watak yang ditanamkan ayahnya itu mempengaruhi kehidupan Iqbal dikemudian hari, bisa dilihat dalam berbagai aktivitas Iqbal bahkan sampai akhir-akhir masa hayatnya. Sebagai anak lelaki, sejak kecil Iqbal sudah diajari mengenai bahwa dia tidak hidup sendiri didunia ini. Sejak kecil dia sudah diajari dirinya adalah bagian kecil dari komunitas besar lingkungan masyarakatnya. Dan ajaran seperti itulah, ujar Iqbal suatu kali, yang selalu mendorongnya untuk tetap berdiri pada kerangka berfikir dan keinginan bertindak secara komunal. Bahkan ajaran seperti itu pula yang selalu mendorongnya untuk tampil sebagai “pioneer” bagi penyelesaian problem yang dihadapi teman-temannya.
Karenanya, bukan hal aneh ketika Iqbal menjadi Ketua Umum PB PMII atau saat Ia menjadi ketua Umum GP Ansor sampai menjelang akhir hayatnya, Ia sering didatangi teman-teman dan adik-adik organisasinya yang meminta uang untuk biaya kuliah atau sekedar untuk membayar uang kost. Bahkan tidak aneh pula kalau sebagai Ketua Umum Organisasi pemuda dilingkungan NU, Iqbal rela meminjami sekedar kopiah dan ikut mengantarkan adik kelasnya diorganisasi yang ingin menikah sekalipun Ia harus rela keluar masuk pelosok-pelosok desa. Iqbal tak pernah sayang mengeluarkan uang maupun tenaganya untuk menolong sahabat-sahabat yang mebutuhkan pertolongan itu. Tidak sedikit Adik kelas atau rekan organisasi yang pernah “dibantunya” itu kini malah tampil sebagai politisi atau usahwan muda yang sukses. Dan keikhlasan seperti itu, tidak bisa tidak, adalah cerminan sebuah sikap solider yang sangat dimotivasi oleh pendidikan yang ditanamkan ayahnya dan pengalaman hidup Iqbal sendiri pada masa kecilnya.
Solidaritas Iqbal terhadap lingkungannya itu bisa dilihat ketika tahun 1997 misalnya, saat Jakarta dilanda banjir besar dan rumah-rumah penduduk yang tinggal di bantaran kali Ciliwung terendam air, Iqbal, pada suatu malam mengajak isterinya membawa makanan. dan mendatangi penduduk yang terkena musibah itu di kawasan Kalibata. Rahma menuturkan, mulanya dia menolak dan meminta Iqbal untuk datang besok siang saja. Tapi Iqbal justru bersikeras untuk datang malam itu juga. “Saya akhirnya mengalah. Malam itu juga kami datang ke Kalibata dengan membawa makanan. Tapi karena gelap, sampai-sampai bemper mobil yang kami tumpangi penyok karena menabrak trotoar,” cerita Rahma. Tapi Iqbal, kata Rahma, justru tenang saja. Ketika Rahma akhirnya bertanya mengapa untuk memberi bantuan saja harus malam-malam, Iqbal menjawab bahwa itulah yang dilakukan Imam Ali r.a. Menurut Rahma, ketika itu Iqbal mengatakan bahwa Imam Ali La justru memilih malam hari untuk membantu orang agar ketika tangan kanannya memberi bantuan tangan kirinya tidak mengetahui.
Pada hari yang lain, Dicky, anak tertuanya menceritakan bagaimana seorang teman sekolahnya tidak boleh ikut ujian karena belum membayar uang sekolah. Iqbal yang mendengar cerita anaknya itu lalu menyuruh isterinya, Rahma, untuk membayarkan uang sekolah ternan anaknya tersebut.
Semua yang dilakukan Iqbal itu tampaknya sangat dipengaruhi oleh pengalaman Iqbal sendiri yang sejak kedl sudah merasakan bagaimana pahitnya hidup sebagai orang tak berpunya. Selain itu, sebagai anak daerah yang menuntut ilmu jauh dari kampung halamannya, Iqbal adalah juga “anak kost” yang kenyang dengan asam garam perjuangan hidup di kampung orang. Bayangkan saja, sejak kelas empat SD Ia telah berpisah dari orangtuanya dan hidup di rumah ayah angkatnya. Bahkan ketika pertama kali menginjakkan kakinya di Jawa pada tahun 1977 dan kemudian kuliah di IPB Bogor, Ia hanya diantar oleh abangnya, Ridwan Assegaf (alm-pen), cuma sampai di pintu gerbang kampus. “Sekarang kamu sendirilah yang akan menentukan hidup dan masa depan k.amu. Kamu mau jadi orang atau tidak, kamu sendirilah yang harus mengatasinya,” ujar Iqbal suatu kali menirukan kata-kata Ridwan, abangnya.
Kesadaran berpikir dan bertindak atas nama kepentingan “orang banyak” itulah yang agaknya turut membentuk kemampuan Iqbal sebagai organisatoris. Dan itulahlah yang membuat temnan-temnan di masa kanak-kanaknya di SMP Negeri Ternate mendaulatnya untuk menjadi Ketua OSIS hingga Ia tamat pada tahun 1974. Pendaulatan itu terulang kembali ketika Ia menanjak remaja dan meneruskan sekolahnya ke SMA Negeri Ternate. “Waktu itu, secara aklamasi, ternan-ternan di SMA Negeri Temate meminta saya menjadi Ketua OSIS,” kenang Iqbal yang lulus dari sekolah menengah tersebut pada tahun 1977.
Sebelum terlibat dalam semua aktivitas kemahasiswaan/kepemudaan, Iqbal sesungguhnya sudah menyimpan catatan sejarah yang sangat panjang tentang keterkaitannya di organisasi. Masuk SMP Negeri Ternate tahun1972, Ia sudah menjadi Ketua OSIS di SMP tersebut hingga akhimya lulus pada tahun 1974. Bahkan .SMP itu bakat kepemimpinan dan keberanian Iqbal sudah nampak menonjol. Menurut Ismunandar, teman semasa kecilnya, ketika menjadi ketua OSIS itu Iqbal bahkan sempat dipukul pak Lestaluhu, kepala sekolah SMP Negeri Ternate. Pasalnya karena Iqbal, tanpa sepengetahuan para guru, menyuruh seluruh siswa lelaki di sekolah itu memakai celana panjang pada setiap hari Sabtu. “Anehnya teman-teman mau saja,” kata Ismunandar. Keberanian serupa juga terlihat ketika, masih di SMP dulu, Iqbal berani ikut lomba pop singers dan bersaing dengan penyanyi-penyanyi yang sudah terlatih. “Sekalipun dia tak pemah jadi juara, tapi keberaniannya untuk tampil di atas panggung cukup luar biasa,” ujar Ismunandar.
0 komentar:
Posting Komentar