Bukan lagi fenomena yang aneh ketika saat ini gonjang-ganjing politik sudah masuk kedalam dunia pesantren. Sebab labudda, mau tidak mau, kaum pesantren sebagai salah satu elemen bangsa merupakan kekuatan politik tersendiri dalam percaturan politik nasional. Sejarah mencatat bahwa pergolakan dari mulai zaman penjajahan, kemerdekaan, hingga kini kiprah pesantren di dunia politik selalu ada. Bukti lain adalah pada saat pemilihan umum level nasional, provinsi, kabupaten/kota sampai pada pilkades pun para kandidat berbondong-bondong sowan kepada para Kiai, santri dan masyarakat di wilayah pesantren.
Bahkan, kandidat-kandidat calon pengisi jabatan politik tersebut berasal dari kalangan pesantren itu sendiri, seperti gus, ning, ustad bahkan kiai nya sendiri menjadi calon. Belum lagi jumlah partai yang begitu banyak dengan ideologi dan platform yang berbeda-beda.Dengan akses, informasi, pengetahuan dan pendidikan politik yang secara umum sangat terbatas dimiliki para bocah santritentu fenomena-fenomena diatas sangat membingungkan baginya, apalagi mereka memiliki hak suara dan hak politik untuk menyalurkan aspirasi. Kemana mereka harus berkiblat dalam menentukan pilihan politik? Manut kiai? Media? Pejabat? Hati nurani? Orang tua? Atau bahkan golput? Hal tersebut menarik untuk ditelisik karena menurut Kementrian Agama Republik Indonesia, pada tahun 2011 jumlah santri di Indonesia berjumlah 3,65 juta orang berasal dari 25.000 pesantren yang tersebar di 33 provinsi di Indonesia, belum lagi total alumninya, kemudian masyarakat yang hidup di sekeliling pesantren yang merupakan binaan pesantren dan belum pula ditotal jumlah keluarga ndalem. Begitu dahsyatnya potensi suara dari satu sektor ini saja.
Di sebuah warung tongkrongan, seorang santri berdiskusi dengan Ustad Politik membahas tentang politik dan dinamika konstelasi nya.
Santri : Ustad, sebetulnya politik itu apa sih?
Ustad Politik : Banyak sekali pegertiannya, namun secara singkat politik berasal dari kata Polis(bahasa Yunani) yang artinya Negara Kota. Dari kata polis dihasilkan kata-kata, seperti:
1. Politeia artinya segala hal ihwal mengenai Negara.
2. Polites artinya warga Negara.
3.Politikus artinya ahli Negara atau orang yang paham tentang Negara atau negarawan.
4. Politicia artinya pemerintahan Negara
Kalau secara Bahasa arab disebut siyasah sehingga sering dikenal dalam istilah para ulama adalahsiyasah syar’iyyah. Yang secara istilah berarti pengaturan urusan-urusan manusia yang terkait kepemimpinan.
Santri : Oh,,,Begitu ya tad, lalu kemudian kondisi politik di Indonesia sekarang bagaimanatad?maklum saya tidak mengikutinya karena sibuk dengan pengajian di pondok dan hafalan-hafalan lainnya… J
Ustad Politik : hehehe…wajar,,,tidak masalah karena sekarang kamu sedang berproses disana. Menurut pakar Politik dari Amerika serikat, Prof Jeffrey A. Winters pada tahun 2010 lalu indonesia mendapatkan penghargaan sebagai negara paling Demokratis di Asia Tenggara namun mendapatkan Penghargaan pula sebagai Negara Terkorup di Asia Tenggara. Hahaha, ini tentu hal yang dilematis dan sangat aneh bukan?
Kemudian saat ini Indonesia juga sedang mengalami demokratisasi yang begitu luar biasa. Namun, reformasi yang terjadi saat 1998 lalu dapat dikatakan sangat ekstrim,sebab pada saat itu peralihan sistem politik terlalu cepat, dari sistem Oligarki Otoritarian berganti dengan Demokrasi yang begitu total. Terlihat pada jumlah partai politik yang sebelumnya hanya tiga, tetapi saat pemilu 1999 berjumlah 48, tahun 2004 24 partai dan terakhir pada pemilu 2009 jumlah partai naik lagi menjadi 38 partai. Saat ini sudah mulai bermunculan kembali partai Politik baru yang sudah mendaftarkan dirinya di Kementrian Hukum dan HAM untuk Pemilu 2014 mendatang. Ideologi partai tersebut bermacam-macam, ada ideologi terbuka,nasionalis kristen dan islam. Partai-partai tersebutlah yang nanti akan memunculkan kandidat pemimpin-pemimpin baru, sebab sebagaimana fungsinya, partai politik adalah sebagai wahana Rekruitmen Elit.
Santri : (manggut-manggut sambil garuk peci),, waduh membingungkan juga ya tad… posisi kita sebagai santri dalam konstelasi perpolitikan nasional itu dimana dan seperti apa?
Ustad Politik : Jasa santri begitu besar, dimulai ketika zaman kemerdekaan, pesantren merupakan salah satu markas perjuangan saat itu, kemudian saat ada perang 10 November di Surabaya yang termasuk dipimpin para kiai dan santri sebagai pasukannya hingga saat itu ada istilah Resolusi Jihad sebagai wujud tanggung jawab kaum pesantren sebagai warga negara. Jadi jelas, posisi santri adalah sebagai layaknya warga negara biasa yang wajib membela negara dan memiliki tanggung jawab pada negara ini, selain itu kita memiliki hak suara dan hak politik dalam menentukan pilihan politik.
Santri : Menanggapi banyak bendera Partai yang masuk ke wilayah Pesantren, menurut ustad seperti apa? Karena setahu saya pesantren kan wilayah pendidikan bukan wilayah politik?
Ustad Politik : Tidak ada peraturan formal yang melarang bendera partai masuk ke wilayah pesantren. Namun betul kata ente, Pesantren adalah wilayah pendidikan bukan wilayah politik sehingga perlu adanya seperangkat etika dalam masalah itu. Tapi tidak dipungkiri pula bahwa banyak aktor politik di wilayah pesantren sendiri, dan kondisi tesebut tidak dapat dihindari lagi. Tidak pantas rasanya pesantren diwarnai oleh bendera partai, tetapi tidak pantas pula melarang para kaum pesantren berpolitik, itu pilihan yang sulit dan serba dilematis. Namun ada solusi untuk itu,disalah satu Pesantren di Jombang, Jawa Timur, beberapa keluarga Kiai merupakan penggerak partai, dan masing-masing keluarga kiai partainya ada yang sama dan tidak sedikit pula yang berbeda satu sama lain, namun diantara mereka membuat kesepakatan yang harus dipatuhi bersama bahwa atribut partai tidak boleh masuk pesantren dan tidak boleh melakukan agenda politik yang bersifat teknis di dalam wilayah pesantren. Hal tersebut layak menjadi contoh, serta para santri disana diberikan kebebasan dan tidak ada intimidasi yang mamaksa mereka untuk memilih si ini atau si itu, walaupun tetap tidak dapat dihindari adanya wejangan dari Kiai namun itu bersifat anjuran dan tidak ada maksud untuk memenjarakan hak politik santri sebagai warga negara.
Santri : Wah, menarik juga jawaban ustad, selanjutnya bagaimana tanggapan Ustad tentang banyaknya pejabat yang berkunjung ke Kiai tertentu dan Kiai tersebut menyatakan dukungan ke salah satu kandidat?jika saya menjadi santri nya, apakah saya juga harus memilih yang sama?
Ustad Politik : Kita percaya bahwa Kiai adalah manusia yang ikhlas dan memiliki sifat terbuka untuk menerima tamu, termasuk para calon pemimpin dari partai-partai tertentu. Sehingga tidak dapat disalahkan jika Kiai menerima tamu dari partai tertentu dan beliau menerima tamu tersebut tidak lebih dari kewajiban seseorang untuk menghormati tamunya. Dan apabila sudah ada dukungan resmi dari kiai kepada salah satu calon, itu juga tidak masalah karena Kiai juga warga negara yang memiliki hak politik,tapi apakah kita juga harus mengikuti pilihan Kiai tersebut? Kita harus berfikir dua kali untuk hal ini. Dalam politik dikenal istilah Rational Choice, artinya seseorang memilih berdasarkan keadaan-keadaan rasional dan baik buruk sesuai dengan seperangkat nilai yang dianutnya. Jika ada santri memilih kandidat yang sama dengan Kiai dan menurut si santri itu sudah sesuai dengan pikiran dan hati nuraninya maka itu sah-sah saja, namun sebaliknya jika memiliki pilihan berbeda karena pertimbangan-pertimbangan lain yang Rasional itu pun sah-sah saja. Jadi kuncinya adalah ke-Rasionalannya.
Santri : Sebagai orang islam, apakah santri harus memilih partai Islam?
Ustad politik : Para ulama Indonesia terdahulu menyepakati dasar negara Indonesia adalah pancasila dan sudah berkomitemn untuk memperjuangkan empat pilar berbangsa dan bernegara yakni Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI. Jadi Islam bukan asas satu-satunya dalam pilihan politik kaum pesantren, dan bukan berarti ketika kita memilih partai islam lalu menjadi anti terhadap partai terbuka, nasionalis dan non islam, begitu juga sebaliknya sebaliknya. Gus Dur sudah mengajarkan kita betapa pentingnya toleransi dalam keberagaman Indonesia, dan titik temu dalam toleransi tersebut adalah saling mengerti. Rasul Muhammad SAW pun membentuk Negara Madinah dengan bermacam-macam suku dan agama yang berbeda saat itu, serta tidak ada diskriminasi.
Jadi, selama pilihan politik kita tidak menyalahi peraturan syariah islam dan peraturan formal negara, itu tidak dipermasalahkan. Bingungnya santri terhadap pilihan, berujung pada tingkat rasionalitas si santri dalam memilih. Dan santri yang boleh memilih, itu kan yang sudah memiliki KTP, dan hal tersebut merupakan ukuran seorang manusia sudah dianggap bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah(tamyiz).
Santri : Jadi, sebaiknya sebagai santri pilihan politik kita kemana?
Ustad Politik : Sederhana saja, Pilih mereka sesuai dengan kriteria pemimpin yang sudah kita pelajari di Pesantren dan sesuai hati Nurani ditambah dengan pertimbangan rasional. Yang paling penting adalah sebagai santri jangan pernah mau untuk ditunggangi kepentingan politik yang tidak baik serta harus menjaga dan melestarikan nilai-nilai pesantren dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, serta bangsa dan negara. Insya Allah Barokah,,,aminn…
Santri : Jadi sangat mencerahkan sekali,,yasudah tad, saya dipanggil Kiai nih, mau ikut membantuberes-beres ndalem karena akan banyak tamu dari Partai A datang..syukron ya tad
Ustad Politik : Ok…semngat ya,,ngaji yang bener dan selalu ingat orang tua di rumah J
(Oleh : Muhammad Abdullah Syukri Hasanuddin Kriyani*)
0 komentar:
Posting Komentar