(Solusi Tepat Guna Mengatasi Kemiskinan Berwajah Perempuan Di Indonesia)
Pembangunan dan gender adalah dua hal penting dalam sebuah kesatuan proses suatu negara untuk menjadi lebih maju. Gender merupakan salah satu poin yang harus diperhatikan dalam merumuskan kebijakan yang akan diberlakukan oleh pemerintah. Artinya, aspek gender merupakan faktor penting yang menjadi pertimbangan tersendiri oleh pemerintah. Ratusan teori tentang konsepsi gender telah menghiasi banyak buku
dan literatur ilmiah yang beredar luas dikhalayak. Banyak perspektif, pendekatan, dan ideologi untuk menterjemahkan makna substansi dari kajian gender. Namun dapat disimpulkan oleh penulis bahwa gender adalah konstruksi sosial yang mengejawantahkan peran, fungsi dan tanggung jawab sosial antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan bermasyarakat. Jadi, gender bukan hanya terfokus pada perempuan saja (anggapan khalayak secara umum), tetapi berisi seperangkat kesepahaman masyarakat antara laki-laki dan perempuan. Di Indonesia, konsepsi dan pola gender sangat beragam karena dipengaruhi faktor kebudayaan dan agama yang beragam. Dalam Modul Pelatihan Advokasi Penganggaran Berbasis Kinerja Responsif Gender (MPAPBKR) peran-peran gender baik untuk laki-laki dan perempuan diklasifikasikan menjadi tiga tipe, yakni reproduksi(domestik/keluarga), produksi (pekerjaan) dan peran dalam masyarakat(community). Jadi, pembangunan dalam kaitannya dengan gender harus mempertimbangkan hal-hal seperti diatas.
Kondisi dan Realita
Posisi perempuan dalam konsepsi pembangunan berperspektif gender idealnya adalah menghasilkan dampak yang positif. Tetapi fakta berkata lain, dalam penelitian yang dilakukan SMERU mengenai Sistem Pemantauan Kesejahteraan oleh Masyarakat (SPKM) menunjukkan bahwa 8 dari 10 keluarga miskin dikepalai oleh perempuan. Penelitian dilakukan pada tahun 2006 diempat desa, yaitu Desa Cibulakan dan Parakantugu (Kabupaten Cianjur) dan desa Kedondong dan Jungpasir (Kabupaten Demak). Dalam metode SPKM, kesejahteraan keluarga terpetakan menjadi 10% keluarga terkaya dan 10 % keluarga termiskin. Hasilnya, secara umum dari penelitian tersebut dari 10% keluarga terkaya 99,28 % dikepalai oleh laki-laki dan dari 10% keluarga termiskin 80,44% dikepalai oleh perempuan. Situasi ini makin menunjukkan keterkaitan antara gender dan kemiskinan, bahwa sesungguhnya kemiskinan itu berwajah perempuan (Suryadarma, 2006 MPAPBKR). Lebih lanjut dalam MPAPBKR, ada fakta menarik yang berasal dari data statistik terkini PBB yang dapat menggambarkan keterpinggiran perempuan secara global, yakni sebagai berikut :
- Perempuan melakukan kegiatan yang menyumbang 67% waktu kerja di dunia
- Perempuan berpendapatan 10 % dari pendapatan di dunia
- Perempuan merupakan 2/3 penderita huruf dunia, dan
- Perempuan memiliki kurang dari 1% kekayaan (property) di dunia
Di Indonesia pada tahun 2009, jumlah perempuan buta aksara sekitar 6,3 juta orang, sekitar 70 persen di antaranya berusia di atas 45 tahun. Adapun jumlah laki-laki buta aksara sebanyak 3,4 juta orang. Total jumlah warga buta aksara 9,7 juta atau 5,97 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Jumlah itu lebih rendah daripada tahun 2004 sebesar 10,7 persen. Daerah yang tinggi disparitas perempuan dan laki-laki untuk kasus buta aksara adalah wilayah Indonesia timur, seperti Nusa Tenggara Timur, Papua, Papua Barat, dan sebagian Nusa Tenggara Barat (indonesiabuku.com, 2011). Untuk bidang pekerjaan, pada 2010 di Maluku Utara jumlah angkatan kerja perempuan tercatat 14.719 ribu orang. Prosentase perempuan yang bekerja di sektor formal lebih rendah dibanding laki-laki yakni sebesar 21,70 persen dari total pekerja perempuan, sementara laki-laki 25,95 persen dari total pekerja laki-laki(waspada.co.id,2010). Data-data tersebut diatas tidak bisa terbantahkan lagi, bahwa posisi perempuan di negara ini sangat buruk dan perlu pembenahan mendasar.
Untuk merealisasikan pembangunan berperspektif gender, pemerintah telah mengeluarkan Kepmendagri No. 132 tahun 2003, yaitu alokasi tertentu (min. 5 %) untuk anggaran Pengarus Utamaan Gender (PUG), kemudian direvisi dengan Permendagri No. 15 tahun 2008 yang intinya anggaran secara umum harus didasarkan pada pertimbangan pada dampak gender, dan bukan hanya persentase tertentu. Sebetulnya Permendagri No. 15 tahun 2008 sudah memiliki substansi yang baik. Namun pola implementasinya masih sangat kurang yang dibuktikan dengan data empiris diatas.
Rebuilding
Untuk mengatasi hal itu setidaknya ada tiga langkah dasar untuk merealisasikan pembangunan berperspektif gender, yang akan menguatkan posisi perempuan dinegara ini. Pertama adalah keterlibatan perempuan dalam pengambilan kebijakan. Sebagai perbandingan adalah sekarang anggota perempuan di parlemen Indonesia tahun 2010 sebanyak 18,04%, atau 101 di antara 489 anggota laki-laki sedangkan negara-negara di wilayah Skandinavia memiliki lebih dari 40% keterwakilan perempuan, Eropa dan Amerika sekitar 21%. Negara-negara yang memiliki prosentase wakil perempuan cenderung memiliki kepekaan lebih tinggi dalam menyikapi permasalahan HAM terkait gender (bataviase.co.id 2010). Walaupun keterwakilan perempuan diparlemen belum tentu sepenuhnya mewakili suara-suara perempuan, namun data diatas membuktikan bahwa negara-negara yang memiliki keterwakilan perempuan lebih tinggi cenderung lebih baik dalalm mengatasi permasalahan gender. Di Indonesia, wakil perempuan diparlemen sangat sedikit, forum Badan Permusyawaratan Desa (BPD) nyaris jarang anggota perempuan, Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) di tingkat desa pun jarang perempuan yang terlibat. Untuk itu, pelibatan perempuan dalam pengambilan kebijakan harus ditingkatkan, guna menyikapi hal itu organasi perempuan di tingkat desa maupun kota harus terus mendorong peningkatan pengetahuan dari para perempuan di wilayahnya masing-masing. Partai politik pun harus lebih peka dalam masalah kaderisasi perempuan, jangan sebatas politik pragmatisme belaka.
Kedua yaitu peningkatan sadar pendidikan, akses pendidikan, mutu pendidikan, dan kualitasnya untuk warga perempuan. Hal ini mengingat fakta buta huruf kebanyakan perempuan, pemerintah harus mempunyai program semacam peningkatan pendidikan yang dikhususkan untuk hal ini. Karena jika program pendidikan tetap digeneralisasi antara laki-laki dan perempuan, maka ketimpangan buta huruf di Indonesia tidak akan menghilang. Keluarga didaerah biasanya lebih mengutamakan anak pria yang sekolah dari pada anak perempuan. Pada tahun 2009, data PBB menunjukkan bahwa 75 juta anak diabaikan haknya untuk menikmati pendidikan, di mana 55 juta di antaranya adalah anak perempuan, ketimpangan banyak terjadi di negara berkembang, termasuk indonesia. Untuk itu peningkatan sadar pendidikan dan akses pendidikan di daerah-daerah tertinggal melalui workshop, seminar, pelatihan, dan pendidikan khusus harus terealisasi secara maksimal dan konsisten. Karena kunci permasalahan gender adalah dalam masalah pendidikan.
Ketiga yakni mengintegrasikan faktor-faktor dan nilai-nilai gender pada tiap masalah pembangunan dan penganggaran. Dalam Jurnal Perempuan Edisi 46 tahun 2011 menerangkan bahwa di beberapa daerah anggaran yang tidak responsif gender mencapai 99 % (hal.46). Lain lagi satu kasus di salah satu kabupaten di Kalimantan, anggaran pemberdayaan perempuan sangat kecil, akhirnya implementasinya nol. Untuk itu, hal ini dapat diatasi melalui penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah (APBD) yang diterjemahkan melalui Rencana Kegiatan dan Anggaran oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah (RKA SKPD) yang sensitif gender . Kegiatan dan anggaran harus disusun sedetail mungkin, sebagai contoh adalah Pelatihan Petani Tebu, maka dalam rincian peserta yang diikutsertakan dalam kegiatan tersebut harus jelas pembagian peserta laki-laki dan perempuan. Karena jika tidak didesain seperti itu, maka kegiatan tersebut akan didominasi pria, sebab biasanya perempuan akan lebih memilih dirumah. Hal tersebut harus didorong dengan “aturan memaksa” agar perempuan harus lebih aktif. Contoh lain mengintegrasikan faktor-faktor dan nilai-nilai gender pada tiap masalah pembangunan dan penganggaran adalah desain toilet yang berbeda antara laki-laki dan perempuan, membuat ruang khusus menyusui, pelayanan khusus pada ibu hamil dan lain sebagainya.
Langkah-langkah rebuilding diatas harus disertai kegiatan controlling yang kuat dan konsisten. Kontrol dalam sebuah kegiatan pembangunan merupakan sebuah kewajiban dalam sebuah negara, walaupun sebuah negara sudah relatif maju. Kesadaran yang kuat untuk mengontrol ini sangat berpengaruh dalam kelancaran proses pembangunan. Kontrol yang bersifat gender ini bisa dilakukan melalui tiga komponen, yakni masyarakat langsung, LSM berbasis gender dan pemerintah legislatif melalui DPRD. Contoh kongkrit adalah mengawal hasil Musyawarah Rencana Pembangunan dari tingkat desa sampai nasional, dibeberapa daerah memang sudah berhasil, namun didaerah-daerah lain kesadaran untuk mengontrol hal ini masih sangat rendah, sehingga proses pembangunan yang terjadi di daerah-daerah tersebut sangat mengabaikan sisi-sisi gender.
Desain rebuilding arah pembangunan negara diatas, diharapkan mampu mengubah angka-angka statistik yang memaparkan kondisi terpuruk perempuan di Indonesia. Berbagai bentuk ketidakadilan gender seperti marjinalisasi, subordinasi, diskrimnasi, beban ganda, stereotip dan kekerasan sudah tidak pantas hadir dipermukaan sosial masyarakat. Perempuan dan laki-laki memang berbeda, namun bukan untuk dibeda-bedakan
Oleh: M. Abdullah Syukri Hasanuddin Kriyani
Oleh: M. Abdullah Syukri Hasanuddin Kriyani
0 komentar:
Posting Komentar